Ini kisah seorang yatim, sebut saja namanya Firman, 20 tahun, kakak dari empat adik itu sudah hampir seminggu selalu terlambat datang ke masjid untuk sholat shubuh berjama’ah, namun meski terburu-buru ia masih menyempatkan diri walau hanya menjadi masbuk atau bahkan setelah jama’ah lainnya sudah mengucapkan salam. Tak apalah, katanya, yang penting ia dan adik-adiknya tak absen ke masjid untuk berjama’ah.
Sebelumnya ia tak pernah begitu, wajar karena empat hari yang lalu, dini hari sekitar pukul 03.00 ayahnya yang tukang angkut sampah di sebuah perumahan, meninggal dunia. Makanya, kalau dulu ada yang membantunya membangunkan adik-adiknya untuk bersiap-siap shubuh di masjid, kini ia harus melakukannya sendiri. Pasalnya, sepuluh tahun lalu, ibunya telah terlebih dulu meninggalkan mereka saat melahirkan si kecil, Salma. Firman dan semua adiknya, memang bersedih ketika ayah mereka meninggalkan mereka saat tengah terlelap. Tak dinyana, perjumpaan sesaat sebelum tidur semalam adalah terakhir kali mereka bercanda dengan ayah mereka. Namun Firman tetap tegar, sebagai kakak tertua dari empat adiknya, ia merasa harus menunjukkan bahwa bagaimanapun kesedihan melanda, mereka tak boleh larut. Tetap tegak menatap hari esok, sambil berpikir bagaimana berjalan tanpa pegangan kokoh yang keduanya telah hilang sekarang, tanpa bimbingan orangtua, tanpa ada lagi tempat mengadu, apalagi minta uang saku sekolah bagi adik-adiknya.
Pagi ini di depan gang sambil menunggu kendaraan, kami bertemu Firman. Ia sudah kembali bekerja –menjadi pesuruh di sebuah lembaga tinggi negara-. Ia tersenyum melihat kami, padahal masih ada kegetiran didada ini merenungi nasib Firman dan adik-adiknya. Namun pagi itu Firman memberi pelajaran terbaik buat kami ketika ia mengatakan, “Allah menyayangi anak-anak yatim, kalau dulu sewaktu ibu meninggal, masih ada bapak yang menyayangi. Saya yakin selama ini Allah sudah menyayangi kami. Tapi kini, keyakinan saya bertambah bahwa Allah semakin sayang kepada kami. Cara Dia mengambil bapak dari tengah-tengah kami, menumbuhkan keyakinan didiri kami kalau Allah ingin lebih total mencurahkan cinta dan kasih sayangnya, tinggal bagaimana kami tetap tawakal dan bersyukur atas segala kehendak-Nya, seraya bersegera membalas cinta-Nya”.
Subhanallaah … kami tak menyangka Allah berikan kekuatan hati melebihi ketegaran batu karang di lautan, lebih kokoh dari gunung-gunung yang berdiri menjulang kepada seorang anak yatim piatu. Nampaknya, keyakinannya terbukti, bahwa kasih sayang Allah tengah tercurah kepada mereka, Firman dan semua adiknya. Saat itu juga kami menengok ke dalam hati ini yang begitu kerdil, cengeng, sering tidak kuat ketika menerima cobaan hidup, dan terkadang memaki-maki Allah menganggap Ia tak adil memberikan keputusan-Nya kepada kami. Padahal, kami disamping masih ada dua orangtua yang sehat dan bugar, keadaan ekonomi keluarga kami pun masih lebih baik dari Firman.
Nampaknya falsafah air semakin ditekan kebawah semakin besar dorongannya keatas, menjadi pelajaran tersendiri buat kami. Firman, juga semua anak-anak yatim di negeri ini jauh lebih tegar, hati mereka sekokoh gunung, justru karena setiap hari mereka ditempa cobaan yang tak henti-hentinya, sehingga mereka menjadi terbiasa menghadapi semua cobaan, ujian hidup seberat apapun. Jika anak-anak yatim itu melihat kecengenganku ketika tertimpa cobaan kecil saja misalnya, mungkin mereka akan tertawa terbahak-bahak dan menganggap kami seorang yang tidak bakal mampu bersaing melawan kerasnya kehidupan.
Padahal dengan semua kelebihan yang kami miliki, seharusnya kami jauh lebih kuat dari mereka, jauh lebih tegar menghadapi cobaan hidup. Toh kami masih punya tempat berpegang ketika merasa tak kuat, atau setidaknya kedua orangtua kami akan memapah kami seraya membangunkan kami ketika kami jatuh. Lagi pula, seharusnya juga kami bisa menjadi kaki-kaki kokoh yang membantu Firman dan anak-anak yatim itu tegak berdiri. Dengan kelebihan yang kupunya, seharusnya kami berikan sebagiannya kepada mereka, agar senyum keceriaan menikmati hidup tak hanya milik orang-orang berpunya.
Lalu apa artinya sholatku selama ini jika keberadaanku tak berarti apapun bagi anak-anak yatim dan orang miskin di sekitarku. Padahal Allah menempatkan urutan diatas sebelum memperbaiki sholat seorang mukmin adalah memperhatikan anak-anak yatim dan orang miskin (QS. Al Maa’uun).
Tentu bukan hanya Firman dan Salma anak yatim di negeri ini, tengoklah kesamping kanan dan kiri kita, masih banyak anak-anak yang tak dapat menikmati sarapan pagi, sementara kita santai menghabiskan uang untuk makan di tempat mahal. Tidak sedikit dari mereka yang tak memiliki pakaian layak, sementara kita sibuk setiap hari membeli model terbaru untuk penampilan kita. Kita merasa puas dan senang jika bisa mengajak beberapa teman untuk makan bersama, tapi tak pernah bergetar menyaksikan mulut-mulut ternganga yang memperhatikan kita dibalik kaca restoran. Padahal sesungguhnya saat itu juga, kita tengah mengesampingkan kunci surga yang tergeletak dihadapan kita. Tak semestinya, kita membiarkan kunci surga itu terbuang begitu saja atau diambil orang-orang selain kita yang memang berlomba mendapatkannya.
Hmmm, kami tak bisa membayangkan bagaimana sedihnya Firman, Salma dan seluruh anak-anak yatim di negeri ini di bulan ramadhan ini. Karena bukankah salah satu kebahagiaan ramadhan adalah sahur dan berbuka bersama dengan seluruh keluarga. Mungkinkah masih ada keceriaan di hari raya nanti bagi mereka, saat tak ada lagi pakaian baru dan makanan enak di rumah mereka, ketika tak ada lagi tangan-tangan hangat yang harus mereka kecup di hari fitri itu. Jawabnya ada pada diri kita, yang Allah titipkan rezeki mereka pada sebagian dari harta yang kita miliki. Kalaulah si Anak Yatim Baginda Rasulullah begitu memuliakan anak-anak yatim, kenapa kita yang mengaku sebagai pengikutnya tidak meniru? Wallahu’a’lam bishshowaab..
Sebelumnya ia tak pernah begitu, wajar karena empat hari yang lalu, dini hari sekitar pukul 03.00 ayahnya yang tukang angkut sampah di sebuah perumahan, meninggal dunia. Makanya, kalau dulu ada yang membantunya membangunkan adik-adiknya untuk bersiap-siap shubuh di masjid, kini ia harus melakukannya sendiri. Pasalnya, sepuluh tahun lalu, ibunya telah terlebih dulu meninggalkan mereka saat melahirkan si kecil, Salma. Firman dan semua adiknya, memang bersedih ketika ayah mereka meninggalkan mereka saat tengah terlelap. Tak dinyana, perjumpaan sesaat sebelum tidur semalam adalah terakhir kali mereka bercanda dengan ayah mereka. Namun Firman tetap tegar, sebagai kakak tertua dari empat adiknya, ia merasa harus menunjukkan bahwa bagaimanapun kesedihan melanda, mereka tak boleh larut. Tetap tegak menatap hari esok, sambil berpikir bagaimana berjalan tanpa pegangan kokoh yang keduanya telah hilang sekarang, tanpa bimbingan orangtua, tanpa ada lagi tempat mengadu, apalagi minta uang saku sekolah bagi adik-adiknya.
Pagi ini di depan gang sambil menunggu kendaraan, kami bertemu Firman. Ia sudah kembali bekerja –menjadi pesuruh di sebuah lembaga tinggi negara-. Ia tersenyum melihat kami, padahal masih ada kegetiran didada ini merenungi nasib Firman dan adik-adiknya. Namun pagi itu Firman memberi pelajaran terbaik buat kami ketika ia mengatakan, “Allah menyayangi anak-anak yatim, kalau dulu sewaktu ibu meninggal, masih ada bapak yang menyayangi. Saya yakin selama ini Allah sudah menyayangi kami. Tapi kini, keyakinan saya bertambah bahwa Allah semakin sayang kepada kami. Cara Dia mengambil bapak dari tengah-tengah kami, menumbuhkan keyakinan didiri kami kalau Allah ingin lebih total mencurahkan cinta dan kasih sayangnya, tinggal bagaimana kami tetap tawakal dan bersyukur atas segala kehendak-Nya, seraya bersegera membalas cinta-Nya”.
Subhanallaah … kami tak menyangka Allah berikan kekuatan hati melebihi ketegaran batu karang di lautan, lebih kokoh dari gunung-gunung yang berdiri menjulang kepada seorang anak yatim piatu. Nampaknya, keyakinannya terbukti, bahwa kasih sayang Allah tengah tercurah kepada mereka, Firman dan semua adiknya. Saat itu juga kami menengok ke dalam hati ini yang begitu kerdil, cengeng, sering tidak kuat ketika menerima cobaan hidup, dan terkadang memaki-maki Allah menganggap Ia tak adil memberikan keputusan-Nya kepada kami. Padahal, kami disamping masih ada dua orangtua yang sehat dan bugar, keadaan ekonomi keluarga kami pun masih lebih baik dari Firman.
Nampaknya falsafah air semakin ditekan kebawah semakin besar dorongannya keatas, menjadi pelajaran tersendiri buat kami. Firman, juga semua anak-anak yatim di negeri ini jauh lebih tegar, hati mereka sekokoh gunung, justru karena setiap hari mereka ditempa cobaan yang tak henti-hentinya, sehingga mereka menjadi terbiasa menghadapi semua cobaan, ujian hidup seberat apapun. Jika anak-anak yatim itu melihat kecengenganku ketika tertimpa cobaan kecil saja misalnya, mungkin mereka akan tertawa terbahak-bahak dan menganggap kami seorang yang tidak bakal mampu bersaing melawan kerasnya kehidupan.
Padahal dengan semua kelebihan yang kami miliki, seharusnya kami jauh lebih kuat dari mereka, jauh lebih tegar menghadapi cobaan hidup. Toh kami masih punya tempat berpegang ketika merasa tak kuat, atau setidaknya kedua orangtua kami akan memapah kami seraya membangunkan kami ketika kami jatuh. Lagi pula, seharusnya juga kami bisa menjadi kaki-kaki kokoh yang membantu Firman dan anak-anak yatim itu tegak berdiri. Dengan kelebihan yang kupunya, seharusnya kami berikan sebagiannya kepada mereka, agar senyum keceriaan menikmati hidup tak hanya milik orang-orang berpunya.
Lalu apa artinya sholatku selama ini jika keberadaanku tak berarti apapun bagi anak-anak yatim dan orang miskin di sekitarku. Padahal Allah menempatkan urutan diatas sebelum memperbaiki sholat seorang mukmin adalah memperhatikan anak-anak yatim dan orang miskin (QS. Al Maa’uun).
Tentu bukan hanya Firman dan Salma anak yatim di negeri ini, tengoklah kesamping kanan dan kiri kita, masih banyak anak-anak yang tak dapat menikmati sarapan pagi, sementara kita santai menghabiskan uang untuk makan di tempat mahal. Tidak sedikit dari mereka yang tak memiliki pakaian layak, sementara kita sibuk setiap hari membeli model terbaru untuk penampilan kita. Kita merasa puas dan senang jika bisa mengajak beberapa teman untuk makan bersama, tapi tak pernah bergetar menyaksikan mulut-mulut ternganga yang memperhatikan kita dibalik kaca restoran. Padahal sesungguhnya saat itu juga, kita tengah mengesampingkan kunci surga yang tergeletak dihadapan kita. Tak semestinya, kita membiarkan kunci surga itu terbuang begitu saja atau diambil orang-orang selain kita yang memang berlomba mendapatkannya.
Hmmm, kami tak bisa membayangkan bagaimana sedihnya Firman, Salma dan seluruh anak-anak yatim di negeri ini di bulan ramadhan ini. Karena bukankah salah satu kebahagiaan ramadhan adalah sahur dan berbuka bersama dengan seluruh keluarga. Mungkinkah masih ada keceriaan di hari raya nanti bagi mereka, saat tak ada lagi pakaian baru dan makanan enak di rumah mereka, ketika tak ada lagi tangan-tangan hangat yang harus mereka kecup di hari fitri itu. Jawabnya ada pada diri kita, yang Allah titipkan rezeki mereka pada sebagian dari harta yang kita miliki. Kalaulah si Anak Yatim Baginda Rasulullah begitu memuliakan anak-anak yatim, kenapa kita yang mengaku sebagai pengikutnya tidak meniru? Wallahu’a’lam bishshowaab..
Posting Komentar